Suatu wacana yang menarik didiskusikan adalah legalisasi profesi PSK (Pekerj Sex Komersial). Suatu fenomena yang mengenai informasi pelegalan "lokalisasi" di beberapa daerah di Indonesia. Yang dimaksudkan pelegalan "lokalisasi" disini adalah sebuah tempat yang dikhususkan bagi mereka yang ber’profesi’ sebagai PSK (Pekerja Seks Komersial), dan tempat khusus ini dinauangi oleh badan hukum negara.
Beberapa daerah yang disinyalir bahwa daerah tersebut diduga daerah lokalisasi yang di legalkan adalah daerah Bogor, Tangerang, Pantura, Indramayu, Cirebon, Batam, Manado, Padang (www.gentaandalas.com) dan Doli Surabaya (Sumber; wikileaks). beberapa daerah ini merupakan suatu kawasan dimana anda bisa melihat para PSK menjajakan dirinya secara terbuka.
Di Sulawesi Utara, Komisi A DPRD kota Manado pernah mengusulkan mengenai perlu adanya lokalisasi PSK dengan alasan untuk mempermudah mengontrol menjamurnya PSK di beberapa tempat terpisah dan meminimalisir masalah sosial dan kesehatan masyarakat (INFO,1/03/07). Bahkan baru-baru ini, wacana ini sempat muncul kembali dalam acara Temu Konstituen Caleg Perempuan di Surabaya (KOMPAS,06/03/09).
Pelegalan lokalisasi ini ternyata menjumpai beberapa reaksi. Ada yang mendukung tapi ada juga yang secara terang-terangan menolaknya. Dan masing-masing kubu mempunyai argumennya sendiri-sendiri. Penolakan mereka biasanya didasari alasan hukum agama dan budaya ketimuran yang masih memandang protistusi sebagai hal yang tabu, selain alasan bahwa lokalisasi hanya akan menambah banyak masalah yang muncul, seperti peredaran minuman keras, narkoba, dan kriminalitas (trafficking). Sedangkan, mereka yang mendukung usaha pelegalan lokalisasi mempunyai alasan bahwa lokalisasi akan bisa meminimalisir penyebaran penyakit kelamin karena mudah mengontrolnya; adanya lokalisasi bisa menciptakan dan menambah lapangan pekerjaan, sehingga roda perekonomian berjalan.
Adanya pro dan kontra ini wajar saja terjadi karena orang Indonesia masih berada dalam masa transisi dari masa modern menuju masa postmodern. Orang yang awalnya masing mengutamakan, mengagung-agungkan undang-undang, peraturan, norma dan etika agama mulai berubah menjadi orang yang memperjuangkan kebebasan, demokrasi dan anti-kemunafikan (Agustinus/http://sosbud.kompasiana.com/2010/06/02/lokalisasi-perlukah-dilegalkan). Hal ini merupakan sebuah transisi masa modern menuju masa postmodern dimana masa ini merupakan masa bahwa manusia ingin menjunjung tinggi kebebasan sebebas-bebasnya dimana tak lagi ada kemunafikan. Hal ini merujuk pada:
Krisis Otoritas
Masa postmodern ini dapat dikatakan sebagai masa krisis otoritas (authority crisis). Di mana krisis ini meliputi krisis institusi (dogma agama). Dogma-dogma yang awalnya sebagai pedoman perbuatan sudah mulai ditinggalkan untuk memberi jalan bagi pengembangan ilmu pengetahuan, hingga mencapai suatu kesuksesan dan kebahagiaan. Bahkan, postmodern berani mendobrak, ‘mengilangkam’ dogma-dogma agama, budaya-budaya untuk mencapai tujuannya. Selain itu, postmodernime juga sangat mengedepankan individualisme. Setiap orang diberi kebebasan untuk melakukan segala sesuatu menurut apa yang dia anggap benar dan menguntungkan. Jadi, yang ditekankan dalam postmodern adalah otoritas individu (individualistic autonomy), sehingga adat istiadat, budaya, otoritas agama dalam bentuk dogma, konsep universal yang memiliki nilai sakral bahkan Tuhan yang dianggap sakral sekalipun dikesampingkan bahkan ditolak dalam rangka mencapai tujuan.
Manusia postmodern tidak boleh terikat pada ideologi apapun, termasuk ideology agama. Mereka tidak mempunyai pedoman dalam menentukan sesuatu itu benar atau salah. Inilah tanda bahwa masa postmodern ditandai dengan runtuhnya nilai-nilai moral, karena tidak ada kebenaran tentang apa yang baik dan yang jahat yang objektif. Maka, perbuatan dan tindakan manusia tidak didasarkan apa yang benar atau salah, tapi didasarkan pada pertimbangan praktis dan tergantung dari orang yang bersangkutan.
Otoritas Individu
Dalam masa postmodern tidak ada ukuran benar atau salah, karena semuanya diserahkan kepada otoritas individu. Demikian pula dengan munculnya fenomena usaha untuk melegalkan ‘lokalisasi’ untuk para PSK adalah tanda masuk dalam masa postmodern. Setiap orang mempunyai argumentasinya masing-masing untuk menanggapi fenomena ini. Kelompok orang yang menolak usaha pelegalan lokalisasi adalah kelompok orang yang masih hidup di bawah suatu otoritas, seperti agama dan adat istiadat yang menyatakan bahwa setiap usaha yang mendukung aktivitas protistusi adalah perbuatan amoral dan termasuk perbuatan dosa, melanggar perintah Tuhan.
Lain halnya dengan mereka yang mendukung pelegalan ‘lokalisasi’ PSK. Mereka bisa dikatakan sebagai kelompok manusia postmodern. Mereka ‘seperti’ sudah tidak mengindahkan dogma agama yang menyatakan bahwa perbuatan itu adalah perbuatan dosa. Mereka mengusahakan pelegalan ‘lokalisasi’ dengan alasan keuntungan (praktis) dan untuk kebaikan bersama serta mengurangi masalah sosial.
Indonesia Mengarah ke Masyarakat Postmodern?
Dengan argumentasinya masing-masing, kedua kelompok ini mempertahankan pendiriannya. Makanya, sampai sekarang belum ada keputusan pasti mengenai usaha pelegalan lokalisasi untuk PSK. Yang sudah ada sekarang inipun sering mendapat reaksi yang kurang enak dari masyarakat (sekitar). Para PSK seperti dimusuhi bahkan dianggap sebagai sampah masyarakat serta penyebab orang untuk berbuat dosa zina. Selain itu, hidup para PSK juga tidak tenang karena sering diganggu dengan adanya penggrebegan atau penutupan lokalisasi oleh kelompok tertentu secara paksa. Mereka seolah belum siap menerima argumentasi dari kelompok orang yang ingin melegalkan lokalisasi dengan alasan mendapat praktis, tanpa memandang itu perbuatan benar atau melanggar dogma agama.
Dari fakta ini kita hendaknya harus lebih bijaksana menganalisis dan menentukan suatu keputusan. Kalau kita terburu-buru mengambil kebijakan pelegalan lokalisasi, tetapi hasilnya ternyata tidak terlalu memuaskan, tidak menguntungkan atau malah makin merugikan dan meresahkan, maka kita bisa disebut sebagai pengrusak moral bangsa tanpa memberikan keuntungan. Sedangkan kalau kita masih mempertahankan institusi tradisional yang dapat berupa penerapan dogma agama, adapt sitiadat dan budaya secara ketat, tapi kerugian yang diterima lebih besar, maka kita akan dinilai sebagai kelompok manusia yang konservatif, yang tidak mau menerima segala bentuk perkembangan dan pembaharuan.
Sumber:
Kompasiana
Batavia
rickymirwan.blog
tempatprostitusi.blogspot
Wikileaks
Gentaandalas
Kompas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar