Bukalapak dulunya merupakan raksasa e-Commerce dan didapuk sebagai unicorn kini tidak lagi melakukan aktivitasnya berjualan produk fisik/ Marketplace. Mengapa demikian? Dulu banget, Bukalapak pernah jadi salah satu raksasa e-Commerce di Indonesia. Tahun 2014 silam platform ini berjaya dan bahkan sempat menyabet penghargaan bergengsi, termasuk The Best e-Commerce dari CNBC Indonesia pada tahun 2019. Kejayaan ini juga terlihat dari Intial Public Offering (IPO) atau penawaran saham perdana emiten dengan nama saham BUKA yang dilaksanakan pada 6 Agustus 2021. Hasil IPO Bukalapak mencatat perolehan investasi sebesar Rp. 21,3 triliun.
Nyaris empat tahun setelah IPO, kas dan setara kas milik perusahaan ini telah menciut hingga 55% dari semula mencapai Rp. 23,4 triliun pada akhir September 2021, kini tersisa Rp. 10,69 triliun pada akhir Maret 2025. Catatan kas akhir September 2021 sebagian besar merupakan dana hasil IPO. Berdasarkan keterbukaan informasinya di Bursa Efek Indonesia (BEI), Selasa 14 Januari 2025, Manajemen Bulakapak resmi menyampaikan soal fokus usaha kedepan, tidak lagi berjualan fisik. Dan untuk usaha kedepan berfokus pada portal Web dan/ atau Platform digital, dengan dua bisnis penunjangnya aktivitas perusahaan holding dan aktivitas konsultasi manajemen.
Untuk kejadian ini, sebenarnya sudah terlihat dari tahun 2019 sebelum Bukalapak mempersiapkan melantai ke Bursa Efek, Mereka sudah melakukan PHK sekitar 100 karyawan. Ini menjadi sinyal bahwa ada masalah serius didalam perusahaan, apalagi dalam beberapa tahun terakhir sebelum melantai, Bukalapak terus merugi. Padahal dalam sebuah bisnis dikatakan sehat jika terus bertumbuh secara positif. Dari laporan keuangan 2019-2024, Bukalapak memang melakukan tren kerugian yang cukup panjang, terinfo bahwa pada tahun 2019 perusahaan mencatat rugi sebesar Rp. 2,80 triliun lalu pada tahun 2020 dan 2021 kerugiannya masing-masing Rp. 1,35 triliun dan Rp. 1,68 triliun dan ditahun 2022 sempat berada dititik cerah dengan keuntungan Rp. 1,98 triliun hal ini karena berkat efisiensi dan diversifikasi bisnis.
Namun hal ini tidak berjalan lama, pada tahun 2023, Bukalapak kembali merugi Rp. 1,38 triliun dan per September 2024, angka kerugian sudah mencapai Rp. 0,59 triliun. Mengapa selalu merugi? Dari rangkuman ini hal utamanya adalah perusahaan selalu menggunakan strategi "BAKAR UANG" yang selama ini menjadi andalan Startup, Promo Cashback, gratis ongkir, bonus driver, dari kesemua itu perlu modal besar. Strategi ini memang membuat bisnis berkembang cepat, tapi bila tidak diiringi profitabilitas lama-lama bisa menjadi beban. Dalam perang e-Commerce biasanya hanya ada satu atau dua pemenang yang bisa bertahan mendominasi pasar. Dan untuk Bukalapak kurang kuat bersaing di area ini. Kalau dilihat dari data statistik Februari tahun 2024, Bukalapak hanya menempati posisi kelima dalam jumlah kunjungan situs e-Commerce di Indonesia. Shopee masih menjadi raja dengan 227,6 juta kunjungan per bulan. Di urutan kedua ada Tokopedia yaitu 95,6 juta kunjungan perbulan. Kemudian dibawahnya ada Lazada dengan jumlah kunjungan 43,6 juta pengunjung, dan Blibli 23,1 juta pengunjung. Sedangkan Bukalapak hanya ada 4,2 juta pengunjung dibandingkan dari setiap pesaing-pesaingnya.
Fenomena ini tidak dialami oleh Bukalapak saja, beberapa tahun lalu industri e-Commerce di Indonesia mengalami bubble burst alias gelembung ekonomi yang meledak. Beberapa e-Commerce yang lain ada yang gulung tikar seperti JD.id tutup pada Maret 2023 dan Elevania yang tutup Desember 2022. Bahkan Tanihub yang berfokus disektor pertanian juga tutup pada Maret 2022. Fenomena ini terjadi akibat pertumbuhan ekonomi yang begitu cepat, baik saat sektor terkait sedang booming diawal kemunculannya maupun dalam kondisi khusus, seperti Pandemi Covid-19 pada 2020-2021. Ketika Pembatasan sosial diberlakukan, belanja online meningkat drastis, mendorong perusahaan e-Commerce untuk bersaing menarik pelanggan melalui strategi "BAKAR UANG" dan ekspansi besar-besaran. Termasuk perekrutan tenaga kerja dalam jumlah besar. Namun, ketika situasi kembali normal dan persaingan semakin ketat, banyak perusahaan yang kesulitan memeprtahankan model bisnisnya, hingga akhirnya tidak mampu bertahan.
Bisa dilihat dari tren kunjungan e-Commerce, bahwa bagaimana industri ini berkembang. Pada tahun 2019, total kunjungan ke situs jual-beli di Indonesia mencapai 3,53 miliar, lalu melonjak menjadi 4,55 miliar di tahun 2020 karena pandemi. Tahun 2021 masih tumbuh ke 4,86 miliar, tetapi mulai turun ke 4,82n miliar di tahun 2022 karena orang-orang kembali ke toko fisik. Namun, tahun 2023 kembali tercatat lonjakan ke 5,67 miliar, menunjukan e-Commerce tetap menjadi bagian penting dari kehidupan masyarakat. Dari tren ini masyarakat tetap selalu menjadikan e-Commerce pilihan utama dalam berbelanja, akan tetapi dari keputusannya Bukalapak dalam mengubah konsep bisnis yang tidak lagi berjualan fisik/ marketplace, melainkan memfokuskan diri pada pengembangan layanan digital seperti top-up, pembayaran tagihan, vouche game, hingga investasi mikro. Langkah ini menjadi upaya dalam bertahan ditengah ketatnya bisnis dari persaingan raksasa e-Commerce lainnya seperti Tokopedia dan Shopee. Menurut Direktur Eksekutif Indonesia ICT Institute sekaligus pengamat ekonomi digital Heru Sutiadi, pergeseran ini bukanlah strategi ekspansi melainkan tanda Bukalapak kesulitan bersaing di Pasar e-Commerce yang kian didominasi oleh pemain besar. Per Juni 2025, BUKA membukukan kenaikan revenue 12% dan adjustment EBITDA juga meningkat 30%. Sehingga terjadi perbaikan dari minus Rp. 20 miliar pada kuartal satu menjadi minus Rp. 14 miliar di kuartal kedua 2025.
BUKA berhasil membalikan keadaan pada paruh pertama 2025, dengan mencetak laba bersih sebesar 464,45 mliar, pencapaian ini sangat kontras dengan periode sama tahun lalu yang masih merugi sebesar Rp. 751,90 miliar, dengan begitu laba per saham dasar ikut berbalik positif menjadi Rp. 4,50 dari sebelumnya minus Rp. 7,29. Kinerja positif ini turut didorong oleh lonjakan pendapatan yang mencapai Rp. 3,08 triliun, tumbuh 27,80% dibanding semester I tahun 2024 sebesar Rp. 2,41 triliun. Dengan pendapatan terbesar masih berasal dari lini bisnis gaming yang menumbang Rp. 2,46 triliun. Sementara itu, sektor online to offline berkontribusi Rp. 447,68 miliar, disusul dari pendapatan ritel sebesar Rp.195,21 miliar, investasi Rp. 26,49 miliar, dan segmen korporat Rp. 24,21 miliar. Seluruh pendapatan tersebut kemudian dikurangi biaya eliminasi sebesar Rp. 67,67 miliar. Dari sisi beban, terjadi peningkatan beban pokok pendapatan menjadi Rp. 2,83 triliun dari Rp. 1,95 triliun diperiode yang sama tahun lalu. Namun, beban penjualan dan pemasaran berhasil diefisiensikan menjadi Rp. 100,53 miliar dari Rp. 175,05 miliar. Beban umum dan administrasi juga menyusut signifikan menjadi Rp. 305,93 miliar dari sebelumnya Rp. 500,57 miliar. Begitu juga beban operasi lainnya yang merosot drastis dari Rp. 302,70 miliar menjadi hanya Rp.32,30 miliar. Pencatatan laba atas nilai investasi turut mendorong kinerja, dengan kontribusi positif sebesar Rp. 243,22 miliar, hal ini berbanding terbalik dari rugi Rp. 1,32 triliun ditahun lalu. Sehingga BUKA sukses mencetak laba usaha sebesar Rp. 58,18 miliar, jauh membaik dari rugi usaha Rp. 1,23 triliun pada semester I 2024. Kalau dilihat dari sisi neraca, total aset Bukalapak hingga 30 Juni 2025 tercatat Rp. 24,07 triliun, sedikit turun dari Rp. 24,79 triliun per akhir Desember 2024. Liabilitas juga turun menjadi Rp. 717,56 miliar dari sebelumnya Rp. 1,09 triliun. Sementara itu total ekuitas tercatat menyusut tipis menjadi Rp. 23,35 triliun dibanding Rp. 23,70 triliun diakhir tahun lalu.
Dari hal pembahasan ini dapat disimpulkan bahwa pada awal Januari 2025, Bukalapak sudah mengumumkan penghentian layanan marketplace produk fisik, Mulai awal Februari 2025, pelapak tidak dapat menambahkan produk fisik dan pembelian hanya bisa dilakukan hingga 9 Februari 2025. Setelah tanggal tersebut semua aktivitas penjualan fisik dihentikan. Langkah ini diambil karena penjualan produk fisik hanya memberikan kontribusi 3% terhadap total pendapatan perusahaan. Bukalapak kemudian mengalihkan ke fokus produk virtual seperti pulsa, paket data, token listrik, voucher streaming, dan layanan keuangan seperti pembayaran tagihan, investasi mikro, hingga layanan mitra dan permainan (gaming). Hal ini merupakan bagian dari strategi jangka panjang untuk memperkuat model bisnis digital dan mengarah ke EBITDA positif. Bukalapak berbalik mencetak laba bersih Rp.464,45 miliar di smester pertama tahun 2025. Jauh lebih baik dibanding rugi bersih tahun sebelumnya, Lini bisnis gaming menjadi penyumbang utama pendapatan sebesar Rp. 2,46 triliun. Hingga Juni 2025, pendapatan meningkat 12% dan EBITDA yang telah disesuiakan (Adjustment EBITDA) melonjak 30%, tidak lagi negatif seperti dikuartal pertama. Sejak IPO pada 6 Agustus 2021, Bukalapak masih memiliki dana Rp. 9,33 triliun hingga Desember 2024, yang disimpan di instrumen aman seperti Deposito, Obligasi Pemerintah, dan Pasar Uang. Dana ini digunakan untuk pengembangan bisnis organik dan akuisisi strategis. Karena seiring keputusan atas layanan fisik/ Marketplace, harga saham BUKA sempat turun ke angka 86% sejak IPO. Saham perusahaan sempat anjlok hingga 7-7,4% pada awal Januari 2025.
PEMBAHASAN MENARIK TERKAIT HUBUNGANNYA BUBBLE BURST DENGAN BUKALAPAK
Sebelum pandemi Covid-19 melanda, Bukalapak bisa dibilang salah satu pemain besar di dunia e-Commerce Indonesia, bersaing ketat dengan Tokopedia dan Shopee. data dari iPrice Indonesia mencatat, pada tahun 2018 jumlah kunjungan tahunan Bukalapak bisa mencapai 1,4 miliar. Angka ini menempatkannya sebagai e-Commerce dengan grafik terbesar kedua setelah Tokopedia saat itu. Masuk ke masa pandemi tahun 2020-2021, tren belanja online meningkat pesat. Bukalapak meresponnya dengan strategi ekspansi agresif. Mereka semakin gencar dengan menerapkan strategi "BAKAR UANG" dengan memberikan berbagai promo, diskon, dan subsidi untuk menarik pengguna yang didukung oleh suntikan dana dari investor. Selain itu jumlah karyawan juga diperbanyak, pada tahun 2020 BUKA memiliki 1.810 karyawan, lalu melonjak jadi 2.236 pada tahun 2021. Terangkum bahwa pada tahun 2020. pengguna Bukalapak turun menjadi 463 juta, diikuti penurunan lebih lanjut ke 375,2 juta pada tahun 2021, tren berlanjut pada tahun 2023 angka tersebut terus menyusut menjadi 168,2 juta dan akhirnya mencapai titik terendah ditahun 2024 dengan hanya 53 juta pengguna. Efek Bubble Burst mulai terasa, investor mulai menarik diri karena Bisnis Bukalapak terus merugi, perusahaan yang terus menggunakan strategi "BAKAR UANG" dengan dana investor pun terpaksa mengurangi promo dan diskon sedikit demi sedikit, yang berakibat daya tarik platform menurun, pelanggan beralih ke kompetitor dan situasi semakin sulit.
Sebagai langkah bertahan dan efisiensi, BUKA mulai melakukan perampingan karyawan (Layoff), pada tahun 2022 jumlah karyawan turun menjadi 1.815 orang, lalu menyusut lagi menjadi 1.538 di tahun 2023 dan pada tahun 2024 hanya tersisa 1.219 orang. Sayangnya, langkah ini tidak cukup untuk menyelamatkan BUKA dari tekanan finansial. Akhirnya, perusahaan mengambil keputusan besar dengan menutup lini bisnis e-Commerce mereka. Keputusan ini cukup masuk akal, dalam persaingan e-Commerce yang semakin ketat. Akibat dari efek domino ini berdampak pada investor yang semakin ketat dan selektif dalam menyalurkan dananya. Jika terus bertahan dalam kondisi rugi berkepanjangan, BUKA bisa semakin terpuruk. Maka, daripada terus menanggu beban yang semakin berat, menutup bisnis e-Commerce bisa jadi pilihan terbaik yang tersisa.
Sumber:
- https://validnews.id/opini/apa-yang-perlu-dipelajari-dari-kegagalan-bukalapak
- https://www.cnbcindonesia.com/market/20250707132117-17-646893/hampir-4-tahun-listing-pegang-rekor-ipo-apa-kabar-bukalapak
- https://wartaekonomi.co.id/read576902/berbalik-untung-bukalapak-buka-kantongi-laba-rp46445-miliar-di-semester-i-2025?utm_source=chatgpt.com
- https://infobanknews.com/masih-mengantongi-dana-rp93-t-bukalapak-cari-peluang-akuisisi/?utm_source=chatgpt.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar